PERAN STRATEGIS PNS DALAM MEMBANGUN KERUKUNAN DAN KEHIDUPAN BERBANGSA
A. PENDAHULUAN
Indonesia adalah Negara yang kaya raya, banyak pulau, berbagai suku bangsa, adat, budaya, mempunyai tanah yang subur dan paling banyak tambang dan hasil buminya. Mulai dari emas, tembaga, minyak, batu bara, dan barang bernilai lainnya ada dalam perut bumi Indonesia. Kalau orang tahu seperti apa Indonesia sebenarnya, mereka pasti akan bangga dengan Indonesia (Panji Pragiwaksono, 2012. Nasionalisme). Apakah kita juga memiliki kebanggaan yang sama, atau malah melihatnya dari sisi negatif, tengah kusut karena begitu banyak persoalan yang tak kunjung terselesaikan…?
Dari sisi negatif, dirasakan ada masalah kerukunan umat beragama dan kerukunan berbangsa yang sepertinya ‘rasa bangga berbangsa’ hanya tinggal retorika semata. Tidak heran jika akhir-akhir ini banyak orang yang sedikit pesimis dengan Indonesia. Apalagi generasi mudanya, kita perhatikan tidak henti-hentinya media masa menyajikan informasi perkelahian pelajar dan mahasiswa, kelompok masyarakat yang resah, demo anarkis menyampaikan ketidakpuasan dan ketidakpercayaannya kepada penguasa.
Fenomena bergejolak dalam lingkungan kemasyarakat kita rasakan cukup memprihatinkan dalam bentuk karakter buruk berupa kekerasan dan kekejaman. Indonesia yang dikenal cukup ramah tamah, sopan santun dan berbudi pekerti berbalik menjadi pemarah dan suka mencaci maki. Lebih parah lagi terdapat sebagian kelompok yang sekedar ikut-ikutan tetapi tidak memahami permasalahan dan persoalan yang dimarahkan ataupun dicaci-makikan.
Belum lagi masalah korupsi yang begitu menggurita dan pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan banyak kelompok orang yang tidak bertanggung jawab telah menyebabkan kehilangan hutan tropis yang luas.
Akibat korupsi yang gawat, Indonesia makin tertinggal oleh negara tetangga di Pasifik Rims (Nurcholis Madjid, 2003)
Kekayaan alam hayati lautan banyak diambil secara ilegal oleh penjarah baik dari dalam maupun luar negeri. Kekayaan tambang kita pun banyak dijarah oleh para petualang baik dari dalam maupun luar negeri dengan mengatasnamakan penanaman modal (PMDN dan PMA) dengan sistem bagi hasil yang merugikan masyarakat dan negara sebagai pemilik resmi bahan tambang. Ironisnya lagi ketika pimpinan negeri ini memberikan sinyal untuk melakukan renegosiasi MOU penanaman modal sampai saat ini masih belum mendapat respon positif baik dari pembuat regulator sendiri dan apalagi bagi penanam modal sendiri yang sudah (rakus) meraup keuntungan yang luar biasa namun sedikit sekali memperhatikan komitmen terhadap lingkungannya.
Harmoni penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik yang seharusnya diharapkan ternyata juga terdapat ekses berupa hiruk-pikuknya pembuat kebijakan, regulator, pelaksana, pengawas dan pengendalianya yang cenderung mau menang sendiri dan saling menyalahkan. Semuanya berkedok pada konsep mendukung pelaksanaan demokratisasi, namun mereka lupa jati diri dan sedikit kebablasan memaknai arti demokratisasi. Sehingga tidak dapat dipungkiri muncul konflik-konflik kepentingan baik secara vertikal dan horisontal kelompok masyarakat yang heterogen.
Ciri konflik yang dapat kita lihat akhirnya cenderung bukan konflik korektif tetapi menuju destruktif, bukan fungsional tetapi disfungsional, sehingga seolah-olah tanpa terasa kita telah menghancurkan bangsa kita sendiri (self destroying nation). Konflik yang terjadi bukan hanya bersifat terbuka (manifest conflict) melainkan juga tertutup, tersembunyi dan terselubung (latent conflict) yang lebih berbahaya. Konflik terselubung yang bersifat latent ini berupa mekanisme kebencian pada hampir semua pranata sosial masyarakat mulai dari keluarga, sekolah, kampung, tempat ibadah, media masa, organisasi masa, organisasi politik dan sebagainya.
Jika kita semua mau menengok pada proses integrasi bangsa Indonesia, maka permasalahan inti yang sebenarnya terjadi adalah pada bagaimana seharusnya kita mengembangkan kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif, serta memanfaatkan pendekatan ketatanegaraan dan birokrasi yang melayani masyarakat dan menjadi abdi masyarakat. Diharapkan terwujud cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia baru yang lebih bermartabat akan dapat diwujudkan secara sinergi untuk mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis dan meiliki jati diri serta karakter ke-Indonesiaan yang adaptif di era global.
Dalam rangka mewujudkannya kiranya sangat strategis peran Pegawai Negeri Sipil (bagian dari pemerintah) sebagai salah satu pilar Good Governance sebagai pemandu dan pemberi keteladanan diantara dua pilar lain dunia usaha (private sector) dan masyarakat (civil society).
Aku titipkan Indonesia kepadamu, jika engkau bisa menjaganya (Soekarno, 1955)
Sinergitas ketiga pilar tersebut diharapkan dapat menjawab tantangan bagi terbangunnya kerukunan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti yang dicita-citakan para pendahul bangsa.
B. MEMBANGUN KERUKUNAN BERBANGSA
Syahrul Kirom (2012) menguraikan bahwa kerukunan pada dasarnya mempunyai dua dimensi. Pertama kerukunan berdimensi sosial yang harus dipaksakan dalam masyarakat sebagai wujud menjaga rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kedua, kerukunan berdimensi personal menekankan pada sikap seseorang dalam upaya menyesuaikan dengan kepentingan masyarakat.
Kerukunan berbangsa merupakan sikap yang harus dilestarikan dalam batin diri manusia. Oleh karena itu, prinsip kerukunan mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam masyarakat di Indonesia. Dengan begitu, keselarasan sosial dan kedamaiaan akan selalu terjaga di dalam bangsa Indonesia. Karena itu, masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki ajaran-ajaran moral dan etika yang baik, yang bersumber pada empat pilar nilai-nilai luhur (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika). Nilai-nilai etika filosofis tampaknya melekat pada empat pilar bangsa Indonesia yang selalu menjunjung tinggi keselarasan dan keharmonisaian sosial dan kerukunan berbangsa
Gubernur Lemhannas dalam acara coffee morning bersama para pimpinan redaksi dan wartawan media cetak maupun elektronik di Gedung Lemhanas-Jakarta 16 Februari 2012 menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila banyak mengalami pergeseran di masyarakat pada era modernisasi seperti saat ini. Dan media masa saat ini telah tumbuh menjadi salah satu pilar demokrasi di tanah air. Sebagai bangsa yang heterogen, ber-BhinekaTungga Ika yang merupakan kesepakatan para pendiri bangsa, dinilai perlu untuk menghidupkan kembali nilai-nila Pancasila supaya kerukunan umat, kerukunan bangsa Indonesia ini dapat terwujud. Selain itu, diharapkan agar jiwa pancasila tidak mudah luntur di hati rakyat (Budi Susilo Supanji, 2012)
Pancasila dan Konstitusi begitu mudah diucapkan oleh elite politik dan penguasa, namun mengapa begitu sulit mereka melaksanakannya ? (Gus Dur, 1997)
Menurut Menkopolhukam (2011) proses alam perjalanan demokratisasi yang lebih luwes di era reformasi telah berjalan tanpa terasa kita lalui mengantarkan kita pada kecenderungan dan realitas-realitas baru, di masyarakat, antara lain :
1. Mekarnya partai-partai politik dengan aliran dan platform baru.
2. Tuntutan pemekaran daerah dengan otonomi yang luas.
3. Kebebasan vs kesetaraan dalam aspek yang luas.
4. Konflik yang dilatarbelakangi kepentingan politik, etnis maupun agama.
5. Meningkatnya kontrol sosial terhadap pejabat publik.
6. Kebebasan media sebagai pilar keempat demokrasi.
7. Interaksi sosial dalam skope domestik maupun global yang real time.
Kenyataan di atas memunculkan beberapa pertanyaan kritis di benak kita melihat fenomena dan dinamika yang berkembang selama kurun waktu beberapa tahun belakangan ini, diantaranya: (1) masihkah kita dapat menciptakan dan mempertahankan nilai-nilai kerukunan dalam kebhinnekaan kita untuk mengisi kemerdekaan ini ? (2) Masihkan kita memiliki tekad untuk menjaga keutuhan dan kelangsungan NKRI dapat tetap kita pertahankan ? (3) Benarkah reformasi hanya menghasilkan pertikaian ideologis semata ? Jawaban ”bisa” dengan yakin dapat kita berikan untuk pertanyaan pertama dan kedua, tetapi ”tidak benar” untuk pertanyaan ketiga.
Kita pernah mengalami suatu zaman dimana ideologi menjadi isu pertentangan begitu besar. Perlu diingat ideologi nasionalis, agama dan komunis yang berbenturan satu dengan lainnya dalam skala yang berbeda. Munculnya ide ideologi Pancasila di masa lalu sebenarnya untuk dapat dibumikan dalam sendi kehidupan masyarakat. Dalam prosesnya dengan bergulirnya era reformasi persoalan azas tunggal dan implementasinya mendapatkan angin perubahan paradigma dalam mendalami Pancasila Itu. Kita yang hidup di dua era, orde baru dan era reformasi menyadari bahwa di satu sisi Pancasila telah mempersatukan bangsa kita, demikian juga sakralisasi dan indoktrinasi berlebihan dalam format politik orde baru memunculkan kritik dan protes terhadap itu semua.
Di abad 21 ini tantangan terhadap ideologi tidak hanya berasal dari lingkup domestik tapi juga global, gelombang demokratisasi, hak asasi manusia, liberalisme, globalisasi serta isu lingkungan hidup. Dengan melalui teknologi informasi dapat menerobos dan masuk dalam cara pandang dan sikap hidup siapa saja (the world is smaller, faster and closer). Hal ini dapat berpengaruh juga dalam sistem nilai dan idealisme baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap terbuka terhadap ideologi Pancasila dimaknai sebagai bagaimana kita memberi kemasan baru nilai-nilai dasar Pancasila dalam kehidupan kita yang akan menjadi perekat dan persatuan politik kebangsaan kita. Pancasila harus menjadi kendali moral dan etika, bukan menjadikannya sebagai alat justifikasi kekuasaan atau politik. Pemahaman terhadap ideologi yang akhir-akhir ini mencuat, mengharuskan kita merefleksi kembali terhadap kebhinekaan dan semangat kemasan baru Pancasila tersebut.
Tidak dapat dipungkiri jati diri bangsa Indonesia harus tetap dijaga seiring dengan pesatnya pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi di era globalisasi yang cenderung mengubah dunia menjadi kampung dunia (global village). Dunia menjadi semakin transparan yang telah berdampak terhadap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Fenomena globalisasi juga mempengaruhi pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang menantang kekuatan dalam menerapkan unsur-unsur karakter bangsa.
Menurut Etzioni (1993) dalam Waspodo Tjipto Subroto (2012), fenomena gobalisasi dalam peradaban modern mempengaruhi pola pikir seseorang atas kekecewaan masa lalu yang dialami guna mengembangkan nilai keakuannya (individualisme) menuju nilai kebersamaan yang bersifat komunitarian. Dengan kata lain mesti menyadari keseimbangan antara hak dan kewajiban. Terbentuknya masyarakat komunitarian hanya dapat terwujud melalui suatu gerakan sosial yang sistematis bersama kelompoknya berupa:
1. Masyarakat harus mampu menciptakan suatu moralitas baru yang tidak mengganggu kehidupan pribadi orang (sikap puritanisme);
2. Masyarakat mempertahankan suatu ‘hukum keteraturan’ tanpa harus jatuh pada suatu ‘negara polisi’ dengan merancang secara hati-hati kewenangan dan kekuasaan pemerintah;
3. Masyarakat harus menyelamatkan kehidupan keluarga tanpa harus membatasi hak anggotanya secara diskriminatif;
4. Sekolah harus mampu memberikan pendidikan moral, tanpa mengindoktrinasi anak muda;
5. Masyarakat harus memperkuat kehidupan komunitas tanpa menjadi orang fanatik dan saling bermusuhan terhadap komunitas lain;
6. Individu harus meningkatkan tanggung jawab sosial bukan sebagai pembatas hak-hak kita, tetapi sebagai perimbangan atas hak-hak yang kita peroleh. Semakin besar hak yang diterima semakin besar pula kewajiban yang ditanggungnya;
7. Perjuangan kepentingan pribadi harus diimbangi dengan komitmen pada komunitas, tanpa menjadi korban kelompok. Keserakahan individu yang tanpa batas harus diganti dengan ‘kepentingan pribadi yang bermanfaat secara sosial’ dan memperoleh peluang yang disahkan oleh masyarakat;
8. Kewibawaan pemerintah harus dijaga tanpa menghilangkan kesempatan bagi semua warga dalam menyampaikan pendapat dan kepentingannya.
C. PERAN STRATEGIS PNS
Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki posisi, peranan dan kontribusi besar sebagai perekat NKRI dan dalam upaya melakukan reformasi birokrasi. Namun peran dan posisi PNS, belakangan ini terkotak-kotak dalam bingkai pegawai daerah dan pegawai pusat, sebagai dampak dari kebijakan desentralisasi dan ekses politik akibat pemilihan kepala daerah secara langsung. Oleh karena itu PNS harus solid dalam menghadapi berbagai kepentingan politik yang sering mengganggu karir PNS yang dibina sejak lama, gara-gara tidak mendukung salah satu pasangan pilkada (Eko Prasodjo, 2012).
Lebih luas lagi dikemukakan bahwa dalam rangka mengurangi kooptasi politik atas birokrasi, serta memberikan rasa nyaman kepada PNS dalam melaksanakan tugasnya sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat, maka isu politisasi birokrasi yang sering terjadi di daerah sudah saatnya untuk dihilangkan, penegakan disiplin dan kode etik pegawai belakangan ini yang relatif masih dinilai rendah mesti ditingkatkan. Selain itu, manajemen yang diterapkan belum mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, keterbukaan, kompetensi, integritas, kesejahteraan, baik pada tahap pengadaan dan seleksi, promosi, mutasi, penilaian kinerja, pola karir, pengendalian jumlah dan distribusi pegawai, hingga penetapan pensiun. Hal lain yang menurut Wamenpan dan RB perlu mendapatkan perhatian, tidak perlu lagi ada penyebutan PNS pusat dan PNS daerah, agar tidak terjadi persepsi bahwa ada dua kedudukan PNS. Peran PNS sebagai perekat NKRI harus diperkuat lagi sehingga secara tidak langsung dapat ikut menumbuhkembangkan kerukunan berbangsa dan bernegara dalam melaksanakan tugas dan pergaulan hidup sehari-hari.
Salah satu pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan PNS di dalam melaksanakan tugas dan pergaulan hidup sehari-hari adalah etika bermasyarakat disamping empat pedoman lainnya: etika dalam bernegara, etika dalam berorganisasi, etika terhadap diri sendiri dan etika terhadap sesama PNS (PP.42 Tahun 2004, Kode Etik PNS). Secara terperinci, sesuai pedoman etika bermasyarakat maka PNS sudah selayaknya siap merealisasikan beberapa sikap, tingkah laku, dan perbuatan berikut:
1. mewujudkan pola hidup sederhana,
2. memberikan pelayanan dengan empati,
3. hormat dan santun,
4. tanpa pamrih
5. tanpa unsur pemaksaan,
6. memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka,
7. adil dan tidak diskriminatif,
8. tanggap keadaan lingkungan masyarakat,
9. dan berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sejalan dengan ide tersebut, paling tidak ada lima faktor penting dalam membangun frame work dalam rangka memperkokoh integrasi kebangsaan kita (Menkopolhukam, 2011). Pertama, terus menghidupkan komitmen, kesadaran, dan kehendak untuk bersatu dilandasi semangat, hakikat dan makna kebangkitan nasional 1908, sumpah pemuda tahun 1928, proklamasi 1945, semangat Reformasi 1998 yang harus terus dihadirkan dalam setiap pemikiran besar kita. Bersatu bukan dalam penyeragaman, bersatu dalam kebhinekaan, menjalankan kehidupan demokrasi dengan semangat persatuan mengelola harmoni dan toleransi.
Kedua, sila ketiga dan keempat Pancasila seringkali dimaknai dalam pandangan demokratisasi yang sempit, yang menempatkan seolah-olah konsensus bukan lagi menjadi prioritas pilihan pertama. Pemahaman makna demokrasi memang diperlukan, akan tetapi perlindungan terhadap minoritas juga tidak boleh diabaikan. Premis “the Minority has its say, the Majority has its way” haruslah dimaknai secara mendalam menuju keharmonisan dalam hubungan yang simetris, bukan dalam konteks hegemoni.
Ketiga, membangun pranata secara kelembagaan yang menyuburkan persatuan dan kesatuan. Mekanisme penyelesaian konflik (conflict management) harus diciptakan untuk mencegah tindakan-tindakan yang merugikan banyak pihak, seperti aksi-aksi teror, serta konflik-konflik sosial lainnya. Lembaga-lembaga apapun dapat berperan di sini.
Keempat, kebijakan saat ini dalam memperlebar tanggung jawab pembangunan nasional, otonomi dalam semangat politik kebangsaan diteruskan dengan mengurangi segala dampak dan memperbaikinya. Hubungan simetris yang setara mayoritas-minoritas, desentralisasi, keseimbangan pusat-daerah, pemberdayaan putra daerah adalah cermin kebijakan yang adil bagi semua pihak dan wilayah. Disadari bahwa semua ini masih berproses, merupakan tanggung jawab kita untuk bersama-sama mengawal agar prinsip pemerataan pembangunan ini berjalan dengan baik.
Kelima, kepemimpinan yang arif dan efektif di semua lini kehidupan. Pada dasarnya pemimpin itu ada dimana-mana sesuai dengan keberadaannya, formal maupun nonformal. Kepemimpinan nasional itu pada dasarnya terbagi habis. Contoh: Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, sampai Kepala Desa, Perguruan Tinggi, TNI, Polri, organisasi kemasyarakatan dan sosial, bahkan pesantren sekalipun. Kepemimpinan semua lini tersebut merupakan faktor kuat untuk menciptakan iklim dan langkah bersama kita menuju integrasi kebangsaan kita.
D. SIMPULAN
Kerukunan hidup berbangsa dan bernegara pada dasarnya mempunyai dua dimensi. Pertama kerukunan berdimensi sosial yang harus ‘dipaksakan’ dalam masyarakat sebagai wujud menjaga rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kedua, kerukunan berdimensi personal menekankan pada sikap seseorang dalam upaya menyesuaikan dengan kepentingan masyarakat.
Peran strategis PNS sebagai perekat NKRI harus diperkuat lagi sehingga secara tidak langsung dapat ikut menumbuhkembangkan kerukunan hidup berbangsa dan bernegara dalam melaksanakan tugas dan pergaulan hidup sehari-hari. Salah satu pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan PNS di dalam melaksanakan tugas dan pergaulan hidup sehari-hari adalah etika bermasyarakat.
Sesuai pedoman etika bermasyarakat maka PNS sudah selayaknya siap merealisasikan dan mewujudkan pola hidup sederhana, memberikan pelayanan dengan empati, hormat dan santun, tanpa pamrih, tanpa unsur pemaksaan, memberikan pelayanan secara cepat-tepat-terbuka, adil dan tidak diskriminatif, serta tanggap keadaan lingkungan masyarakat, dan berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
PNS hendaknya dapat memberdayakan peran individu dalam meningkatkan tanggung jawab sosial bukan sebagai pembatas hak-hak pribadi, tetapi sebagai perimbangan atas hak-hak yang diperoleh. Semakin besar hak yang diterima semakin besar pula kewajiban yang ditanggungnya. Perlu menyadarkan masyarakat bahwa perjuangan kepentingan pribadi harus diimbangi dengan komitmen pada komunitas, tanpa menjadi korban kelompok. Keserakahan individu yang tanpa batas harus diganti dengan ‘kepentingan pribadi yang bermanfaat secara sosial’ dan memperoleh peluang yang disahkan oleh masyarakat.
Sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat, PNS perlu tetap menjaga kewibawaan pemerintah tanpa menghilangkan kesempatan bagi semua warga dalam menyampaikan pendapat dan kepentingannya. Masyarakat perlu diajak mempertahankan suatu ‘hukum keteraturan’ tanpa harus jatuh pada suatu ‘negara polisi’ dengan merancang secara hati-hati kewenangan dan kekuasaan pemerintah. PNS harus lebih arif dan bijaksana dalam memaknai dan mendukung kinerja ketiga pilar tata kepemerintahan yang baik antara masyarakat madani (civil society), dunia usaha (private sector) dan pemerintah sendiri (government) dengan lebih sinergis.
E. SUMBER PUSTAKA
Budi Susilo Supanji, 2012. Nilai-nilai Pancasila Banyak Mengalami Pergeseran. Posting Selany Ranu Merdekaonline.com Jumat, 17 Februari 2012, Jakarta
Eko Prasodjo, 2012. RUU ASN Perkuat Peran PNS Sebagai Perekat NKRI. Wamenpan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Online 14 January 2012
Etzioni, A. 1993. The Spirit of Community: The Reinvention of American Society, New York: Simon and Schuster.
Menkopolhukam, 2011. Kebangsaan Dalam Semangat Persatuan dan Kesatuan. Pointers Keynote Speech Sarasehan FII Final. Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia
Pandji Pragiwaksono, 2012. Nasionalisme. Benteng, Yogyakarta.
Syahrul Kirom, 2012. Pancasila dan Kerukunan Berbangsa. Suara Karya Online 14 Juni 2012.
Waspodo Tjipto Subroto, 2012. Peran Pendidikan kewarganegaraan Dalam Melestarikan Budaya dan Karakter Bangsa. Universitas Negeri Surabaya